“Jadi saya sampaikan waktu itu, dari sisi scientific atau fakta ilmiah, tidak perlu diberlakukan pelabelan itu. Cuma, BPOM waktu itu beranggapan bahwa psikologi masyarakat perlu diredam karena berita-berita hoaks yang sudah meresahkan di masyarakat,” katanya.
Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Karena, pelabelan itu jelas akan menambah cost.
“Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti aka nada penolakan nanti dari pihak konsumen,” tukasnya.
Berbicara soal berbahaya, Zainal mengungkapkan bahwa semua bahan kimia yang ada dalam kemasan pangan itu berbahaya, termasuk plastik berbahan PET atau sekali pakai yang mengandung etilen glikol yang bisa merusak otak manusia jika dikonsumsi secara berlebihan.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
“Termasuk garam dapur pun itu bahan dasarnya yang berasal dari Klor dan Natrium sangat berbahaya. Tapi setelah menjadi garam dapur, kan malah digunakan untuk masakan. Jadi, sama saja dengan etilen glikol dan BPA itu, kalau sudah membentuk polimer bisa digunakan untuk kemasan pangan,” ujarnya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, juga mempertanyakan adanya wacana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan itu.
Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.